COBEKKU SAYANG COBEKKU MALANG

Meski jaman sudah maju, peralatan dapur sudah banyak yang canggih, cobek masih merupakan barang penting di dapur saya.

Sekali waktu saya pernah enggak punya cobek. Waktu itu baru pindah ke Shanghai – Cina. Pindahnya buru buru nggak ada persiapan sehingga nggak sempet bawa ini itu. Kasak kusuk ke teman teman Indonesia di Shanghai cari pinjaman, siapa tau ada yang punya lebihan. Sampai sampai dikomentari suami, ngapain susah susah nyari cobek. Kan ada food processor.

Yaela, beda tho kang. Cobek nyucinya gampang. Kalau food processor ribet nyucinya, ngisinyapun juga musti banyak. Diisi seuprit buat nyambel enggak bisa. Bikin tempe penyet yo ra iso pake food processor. Enaknya lagi, cobek nggak butuh listrik dan bisa bikin tangan keker. Nggak perlu barbel kan.

Untungnya ada teman yang berbaik hati meminjamkan cobeknya. Senengnya. Hampir tiap hari bikin sambel. Kadang bikin bumbupun juga pake cobek kalau males sama food processor.

Dari situlah suami saya tahu, betapa tergantungnya saya sama cobek. Suami juga mulai ketularan makan sama sambel. Bahkan salah satu makanan kegemarannya adalah spaghetti yang disiram sambel terasi.

Beberapa bulan kemudian sewaktu ada kesempatan untuk mudik ke Indonesia, saya membeli cobek buat dibawa ke Shanghai. Dan cobek pinjaman dikembalikan ke pemilik asal.

Selesai masa tugas di Shanghai, pulang ke Indonesia tapi cobeknya nggak dibawa melainkan dihibahkan ke teman Indonesia yang membutuhkan. Karena toh gampang nyari cobek di Indonesia.

Beberapa bulan di Indonesia, lantas pindah ke Amerika Serikat. Enggak mau kelimpungan seperti di Shanghai, maka jauh hari sebelum berangkat saya ke pasar Genteng beli cobek. Meskipun di Amerika ada yang jual cobek, harganya menetehen. 30 dolar mbok.

Yang repot sewaktu akan dibawa. Dimasukkan koper, lha kok overweight. Nanti suruh bayar kelebihan berat gara gara cobek. Padahal barang imut gini. Kopernya dah penuh makanan.

Akhirnya suami ngasih jalan keluar, sini deh aku bawa aja. Aku masukkin ransel. Hah?

Melongo saya dibuatnya. Cobek naik jabatan. Masuk kabin pesawat.

Cobeknya kan kecil, bisa dianggap barang tentengan. Nggak bakal menuh2in tas. Hanya masalah beratnya aja. Ntar naruhnya dipisah antara cobek dan munthu biar nggak mengundang kecurigaan pemeriksaan di bandara. Begitu alasan suami saya.

Ya deh, saya manut.

Dari Surabaya ke Twin Cities, pesawat singgah di beberapa kota. Jakarta, Singapura, Tokyo dan terakhir St. Paul.

Transit di Jakarta nggak ada masalah. Ransel isi cobek lewat dengan mulus tanpa ada pertanyaan.

Mulai dari Singapura nih, bikin petugas bandara yang biasanya bertampang serem jadi bisa tersenyum lebar.

Suami diminta membuka tasnya dan mengeluarkan barang yang dicurigai.

Apa tuh barang hitam bulat?

Oh,ini mortar and pestol. Buat menghancurkan bumbu masak.

Nampaknya petugas nggak mudeng. Mukanya masih nyureng tanda tak mengerti. Jurus lainpun dikeluarkan. Suami saya memperagakan orang menguleg tanpa munthu. Di depan orang banyak.

Si petugaspun manggut manggut sambil tersenyum lebar. Nampaknya lucu buat mereka. Cobekpun lolos.

Di Tokyo begitu juga, peragaan menguleg di depan orang banyak terjadi lagi. Lagi lagi mengundang senyum lebar sang petugas. Kali ini sambil geleng geleng kepala.

Sesampainya di St. Paul, sami mawon. Adegan nguleg di depan orang banyak terjadi lagi.

Setahun di Eden Prairie, kami pindah ke Duluth. Makin ke Utara. Cobek juga ngikut. Baru juga beberapa bulan, munthunya pecah jadi dua.

Ceritanya gini:

Si Menik pengen makan durian. Kamipun memesan durian di satu satunya toko Asia di Duluth. Mintanya durian yang isinya saja. Kalau yang buah utuh, isinya terlalu banyak. Yang makan juga cuma kami berdua. Bapaknya si Menik ora doyan.

Ndilalah kok yang datang buah utuh segede kepala bagong. Mau ditolak, kok ya kasihan. Nggak ada yang beli.

Ya udah, akhirnya buah durian berpindah tangan. Nyampe rumah nggak langsung dibuka, soalnya masih beku. Keras seperti batu. Musti didiamkan semalam, baru keesokan harinya bisa dibelah.

Semalaman itu, ada mungkin 4 atau 5 kali si Menik nengok ke dapur ketok ketok si buah.

“When I can eat it?”

“I think it’s ready now, bunda.”

“Aku luwe, bisa dibuka saiki nggak?”

Hadoh, grisinen kupingku. Risih ngliat Menik mondar mandir ke dapur ngambusi durian. Antara kasihan, gemes dan nggak sabar sayapun ngambil pisau dapur andalan saya yang besar. Itu pisau yang paling gede yang saya punya. Pisaunya seperti punya tukang mi gerobak dorong. Buat nggeprek bawang, buat nyacah daging, buat nyacah sayur. Multi fungsi deh. Besar dan tebal.

Pisau diayunkan untuk membuka durian. Buah nggak bergeming blas. Pisaunya malah nancep dan nggak bisa ditarik. Ganti taktik, buahnya sekarang yang diayun ayunkan ke lantai dengan pisau yang masih menempel di buah sebagai pegangannya. Mata pisau berhasil masuk lebih dalam. Tapi buah masih belum bisa dibuka.

Setengah jam berjibaku menaklukkan durian, si buah hanya terkoyak sedikit. Durinya aja yg rontok mengotori lantai. Akhirnya kepikiran untuk menggunakan munthu sebagai bala bantuan.

Pisau yang masih setia menancap di buah durian, didorong dengan cara dipukul pake munthu sekencang kencangnya. Sekali, dua kali. Nggak bergerak blas.

Akhirnya dipukul bertubi tubi dan…mak glodhak.

Munthu patah jadi dua. Dan durian masih teronggok utuh dengan manisnya. Seolah ngejek.

Byuh, munthu cuma ada satu satunya, patah pula. Nggak jadi pesta durian. Menik yang merasa bersalah ndepipis di pojokan. Kali ini manut disuruh nunggu sampe besok.

Nasib si munthu masih bagus karena nggak saya buang. Masih bisa digunakan buat nguleg meskipun susah karena nggak ada serep.

Sekarang saya sudah punya dua set cobek dan munthu. Yang kecil buat nyambel, yang agak besar buat nguleg bumbu. Munthu yang patah belum sempat dibuang, malah sama suami mau coba disambung.

Pulang kampung nanti pengen beli lumpang batu. Yang kecil aja sih, buat bikin sambel ala Toraja. Kira kira kangmas mau nggak ya nenteng di ranselnya? Hehehehehe…musti dirayu dulu nih.